Di tangan orang yang kreatif, barang apa saja bisa bernilai bisnis tinggi. Rudianto Handojo melihat peluang bisnis dari limbah kayu yang terbuang dengan menyulapnya menjadi lampu penghias ruang yang cantik dan indah. Produk bikinannya kebanyakan dihargai oleh kalangan ekspat.
Keindahan dan kemewahan sebuah rumah, bukan hanya terletak pada ukuran dan bentuk bangunannya melainkan juga pada bagaimana mengatur tata letak furniturenya dan furniture yang digunakan. Rumah yang berkonsep minimalis, misalnya, belum tentu berkurang keindahannya bila dibandingkan dengan rumah mewah berikut aneka furniturenya yang mahal dan bermerek terkenal, hanya karena menggunakan furniture “sederhana”.
Berkaitan dengan itu, kini banyak rumah berkonsep minimalis - ukuran bangunan tidak luas dan jumlah penghuninya tidak banyak - tapi ingin tetap terlihat indah dan nyaman, ditata dengan furniture “sederhana” tapi berfungsi ganda. Ambil contoh, lampu hias dari kayu limbah. Selain mampu menerangi setiap sudut ruangan, lampu-lampu artistik yang terbuat dari kayu (limbah) sengon, pinus, rami, sungkai, dan mahoni ini juga dapat memperindah ruangan-ruangan nan mungil sebuah rumah.
“Memang sejauh ini atau 70% peminat lampu hias kreasi saya ini masih kalangan ekspatriat. Karena, lampu-lampu semacam ini tidak mudah masuk ke suasana rumah orang zaman sekarang, yang lebih memilih produk-produk Da Vinci, misalnya. Lampu-lampu saya hanya diminati oleh orang-orang yang konsep rumahnya minimalis,” kata Rudianto Handojo, kreator lampu hias dari kayu limbah.
Rudy, begitu dia disapa, yang mulai “membisniskan” hobinya ini sekitar enam tahun lalu termasuk pencinta seni sejati. “Sebagai arsitek, tentu saya ingin membangun rumah yang bagus. Tapi, jika rumah yang bagus itu tidak dihias dengan bagus pula, maka ia tidak akan menjadi rumah bagus. Apalagi, bila tidak ditata dengan lampu yang bagus, keindahan sebuah rumah tidak akan tampak,” kata Rudy.
Sehubungan dengan hal itu, dia mencoba membantu membangun karakter sebuah rumah dengan elemen lampu hias seperti yang dia buat, yaitu lampu yang memerangkap cahaya. Lalu, dia biarkan cahaya itu mencari celah sendiri. Ketika akhirnya cahaya itu menemukannya, maka bentuk yang keluar adalah pantulan cahaya. “Ekspresi pantulan cahaya itulah, yang saya harapkan dapat membuat ruangan di mana lampu itu berada menjadi lebih bagus. Jadi, berbeda dengan lampu biasa yang memainkan cahayanya secara lepas,” jelasnya.
Untuk bahan bakunya, Rudy pun berburu sisa-sisa kayu sengon ke Sukabumi, limbah kayu rami di Klender, potongan-potongan tak terpakai kayu sungkai dari beberapa industri pembuatan furniture, dan sisa-sisa kayu pinus sebagai hasil pemotongan kayu legal yang dilakukan Perhutani. “Kayu-kayu ini warnanya terang atau muda, sehingga sangat bagus untuk memantulkan cahaya. Di samping itu, mereka itu jenis kayu lunak sehingga lebih mudah dibentuk,” ujarnya. Untuk aksentuasi, dia menggunakan kayu mahoni yang berwarna merah tua atau cenderung gelap.
Mengapa kayu? “Kayu itu mengandung unsur hangat. Selain itu, kayu di Indonesia bagus dan kita kaya akan jenis kayu. Jadi, mengapa tidak kita eksplor saja? Di sisi lain, saya menggunakan limbah sebab tidak ada yang menjual kayu dengan ukuran yang saya inginkan. Ada keterbatasan ketersediaan bahan baku,” kata Rudy yang terinspirasi oleh produk-produk IKEA (industri mebel dari kayu terbesar saat ini, red.) dan lampu buatan Skandinavia (negara penghasil kayu pinus terbesar di dunia, red.) “Unsur seni produk mereka sangat kuat, mirip dengan lampu yang saya buat,” jelasnya.
Lampu-lampu handmade ini dijual dengan harga Rp150 ribu–Rp900 ribu. Penetapan harga ini bukan terletak pada ukuran lampu, melainkan pada penggunaan bahan baku dan mood. “Dalam arti, kalau saya merasa kreasi saya ini indah meski gampang dibuatnya, ya, saya kasih harga mahal. Harga berdasarkan mood atau nilai seninya,” ucapnya. Dalam sebulan, Rudy yang menitipkan hasil karyanya di sebuah outlet di Kemang mampu menjual 5–15 lampu atau menerima pemesanan hingga 40 lampu. Karena itu, per bulan dia mencetak omset penjualan sekitar Rp20 juta.
Keindahan dan kemewahan sebuah rumah, bukan hanya terletak pada ukuran dan bentuk bangunannya melainkan juga pada bagaimana mengatur tata letak furniturenya dan furniture yang digunakan. Rumah yang berkonsep minimalis, misalnya, belum tentu berkurang keindahannya bila dibandingkan dengan rumah mewah berikut aneka furniturenya yang mahal dan bermerek terkenal, hanya karena menggunakan furniture “sederhana”.
Berkaitan dengan itu, kini banyak rumah berkonsep minimalis - ukuran bangunan tidak luas dan jumlah penghuninya tidak banyak - tapi ingin tetap terlihat indah dan nyaman, ditata dengan furniture “sederhana” tapi berfungsi ganda. Ambil contoh, lampu hias dari kayu limbah. Selain mampu menerangi setiap sudut ruangan, lampu-lampu artistik yang terbuat dari kayu (limbah) sengon, pinus, rami, sungkai, dan mahoni ini juga dapat memperindah ruangan-ruangan nan mungil sebuah rumah.
“Memang sejauh ini atau 70% peminat lampu hias kreasi saya ini masih kalangan ekspatriat. Karena, lampu-lampu semacam ini tidak mudah masuk ke suasana rumah orang zaman sekarang, yang lebih memilih produk-produk Da Vinci, misalnya. Lampu-lampu saya hanya diminati oleh orang-orang yang konsep rumahnya minimalis,” kata Rudianto Handojo, kreator lampu hias dari kayu limbah.
Rudy, begitu dia disapa, yang mulai “membisniskan” hobinya ini sekitar enam tahun lalu termasuk pencinta seni sejati. “Sebagai arsitek, tentu saya ingin membangun rumah yang bagus. Tapi, jika rumah yang bagus itu tidak dihias dengan bagus pula, maka ia tidak akan menjadi rumah bagus. Apalagi, bila tidak ditata dengan lampu yang bagus, keindahan sebuah rumah tidak akan tampak,” kata Rudy.
Sehubungan dengan hal itu, dia mencoba membantu membangun karakter sebuah rumah dengan elemen lampu hias seperti yang dia buat, yaitu lampu yang memerangkap cahaya. Lalu, dia biarkan cahaya itu mencari celah sendiri. Ketika akhirnya cahaya itu menemukannya, maka bentuk yang keluar adalah pantulan cahaya. “Ekspresi pantulan cahaya itulah, yang saya harapkan dapat membuat ruangan di mana lampu itu berada menjadi lebih bagus. Jadi, berbeda dengan lampu biasa yang memainkan cahayanya secara lepas,” jelasnya.
Untuk bahan bakunya, Rudy pun berburu sisa-sisa kayu sengon ke Sukabumi, limbah kayu rami di Klender, potongan-potongan tak terpakai kayu sungkai dari beberapa industri pembuatan furniture, dan sisa-sisa kayu pinus sebagai hasil pemotongan kayu legal yang dilakukan Perhutani. “Kayu-kayu ini warnanya terang atau muda, sehingga sangat bagus untuk memantulkan cahaya. Di samping itu, mereka itu jenis kayu lunak sehingga lebih mudah dibentuk,” ujarnya. Untuk aksentuasi, dia menggunakan kayu mahoni yang berwarna merah tua atau cenderung gelap.
Mengapa kayu? “Kayu itu mengandung unsur hangat. Selain itu, kayu di Indonesia bagus dan kita kaya akan jenis kayu. Jadi, mengapa tidak kita eksplor saja? Di sisi lain, saya menggunakan limbah sebab tidak ada yang menjual kayu dengan ukuran yang saya inginkan. Ada keterbatasan ketersediaan bahan baku,” kata Rudy yang terinspirasi oleh produk-produk IKEA (industri mebel dari kayu terbesar saat ini, red.) dan lampu buatan Skandinavia (negara penghasil kayu pinus terbesar di dunia, red.) “Unsur seni produk mereka sangat kuat, mirip dengan lampu yang saya buat,” jelasnya.
Lampu-lampu handmade ini dijual dengan harga Rp150 ribu–Rp900 ribu. Penetapan harga ini bukan terletak pada ukuran lampu, melainkan pada penggunaan bahan baku dan mood. “Dalam arti, kalau saya merasa kreasi saya ini indah meski gampang dibuatnya, ya, saya kasih harga mahal. Harga berdasarkan mood atau nilai seninya,” ucapnya. Dalam sebulan, Rudy yang menitipkan hasil karyanya di sebuah outlet di Kemang mampu menjual 5–15 lampu atau menerima pemesanan hingga 40 lampu. Karena itu, per bulan dia mencetak omset penjualan sekitar Rp20 juta.
1 komentar:
Banyak kayu limbah di sini dan ingin saya ranjang menjadi produck hiasan yg bs di jual.mohon petunjuk dan trainning.Terimakasih
Posting Komentar